Latest Posts

Senin, 08 Februari 2010

KELUAR AIR KENCING SECARA KONTINYU, BAGAIMANA PANDANGAN FIQIH???

Bersuci (thaharah: wudhu, tayammum atau mandi) merupakan syarat sah ibadah yang mewajibkan dalam keadaan suci, seperti shalat. Sehingga ibadah tersebut tidak dikatakan sah tanpa thaharah. Namun kewajiban tersebut bisa jatuh ketika seseorang dalam keadaan tertentu yang menghalangi seseorang melakukan thaharah sebagaimana firman Allah Swt.
وما جعل عليكم فى الدين من حرج (الحج)ـ
"Dan Dia tidak menjadikan bagimu kesulitan dalam agama Islam.

Salah satu contoh adalah penyakit kencing yang terus-menerus atau dalam istilah para
fuqaha dinamakan salisul-baul.

Pengertian salisul-baul
Menurut mazhab Hanafi, salisul-baul adalah penyakit yang menyebabkan keluarnya air kencing secara kontinyu, atau keluar angin(kentut) secara kontinyu, darah istihadhah,mencret yang kontinyu, dan penyakit lainnya yang serupa.
Menurut mazhab Hanbali, salisul-baul adalah hadas yang kontinyu, baik itu berupa air kencing, air madzi, kentut, atau yang lainnya yang serupa.
Menurut mazhab Maliki, salisul-baul adalah sesuatu yang keluar dikarenakan penyakit seperti keluar air kencing secara kontinyu.
Menurut mazhab Syafi'i, salisul-baul adalah sesuatu yang keluar secara kontinyu yang diwajibkan kepada orang yang mengalaminya untuk menjaga dan memakaikan kain atau sesuatu yang lain seperti pembalut pada tempat keluarnya yang bisa menjaga agar air kencing tersebut tidak jatuh ke tempat shalat.

Dalil tentang salisul-baul

وقد أصيب عباد بن بشر بسهام ، وهو يصلى ، فاستمر فى صلاته . رواه أبو داود
وابن خزيمة والبخارى تعليقا

"Ubad bin Basyar menderita penyakit mencret dan dia tetap melanjutkan shalatnya (dalam keadaan mencret tersebut)."

Dari hadis tersebut bisa disimpulkan bahwa seseorang yang mempunyai penyakit mencret, keluar kentut/air kencing secara kontinyu tidak memiliki kewajiban untuk mengulang-ulang wudhunya, namun tetap meneruskan shalat dalam keadaan tersebut.

Syarat-syarat dibolehkan ibadah dalam keadaan salisul-baul


Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar ibadah tertentu diperbolehkan dalam keadaan salisul-baul:
1. Sebelum melakukan wudhu harus didahului dengan istinja'
2. Ada kontinyuitas antara istinja' dengan memakaikan kain atau pembalut dan
semacamnya, dan adanya kontinyuitas antara memakaikan kain pada tempat keluar
hadas tersebut dengan wudhu.
3. Ada kontinyuitas antara amalan-amalan dalam wudhu (rukun dan sunnahnya)
4. Ada kontinyuitas antara wudhu dan shalat, yaitu segera melaksanakan shalat
seusai wudhu dan tidak melakukan pekerjaan lain selain shalat. Adapun jika
seseorang berwudhu di rumah maka perginya ke mesjid tidak menjadi masalah dan
tidak menggugurkan syarat keempat.
5. Keempat syarat diatas dipenuhi ketika memasuki waktu shalat. Maka, jika
melakukannya sebelum masuk waktu shalat maka batal, dan harus mengulang lagi di
waktu shalat.

Apabila telah terpenuhi kelima syarat ini maka jika seseorang berwudhu kemudian
keluar air kencing atau kentut dan lainnya aka dia tidak mempunyai kewajiban untuk
melakukan istinja' dan berwudhu lagi. Namun cukup dengan wudhu yang telah ia lakukan di awal.

Berapa kali seseorang bisa melakukan shalat dalam keadaan salisul-baul?

Seseorang yang memiliki penyakit seperti salisul-baul tersebut hanya diperbolehkan melakukan ibadah shalat fardhu sekali saja, adapun shalat sunnah bisa dikerjakan
seberapa kali pun.

Niat apa yang dilafalkan oleh seseorang yang mempunyai penyakit salisul-baul?


Seperti disebutkan dalam "Hasyiyah Qalyubi wa 'Umairah" bahwa orang yang mempunyai
penyakit salisul-baul ini berniat 'li istibahah' (agar diperbolehkan shalat) dan tidak melafalkan niat 'li raf'il hadas'. Hal tersebut dilandaskan bahwa wudhu dalam
keadaan seperti ini adalah bukan wudhu hakiki akan tetapi wudhu semacam ini adalah batal karena keluar air kencing atau lainnya namun syariat telah memberikan toleransi dan keringanan kepada orang yang mengalami penyakit seperti ini. Wallahu a'lam bi ash-shawab.
read more...

Rabu, 23 Desember 2009

TATHWIL (MEMPERPANJANG) BACAAN DALAM SHALAT, BOLEHKAH?!

Suatu malam di interval minggu terakhir bulan Desember 2009......

Jarum jam menunjukkan pukul 18.30, kulangkahkan kaki menuju masjid Bu'us (asrama mahasiswa asing) untuk memenuhi panggilan Ilahi. Tampak jamaah shalat Isya yang mayoritas mahasiswa, memadati masjid. Kuambil air wudhu di midha'ah (tempat wudhu), walaupun air kran dingin begitu menusuk.

Sang imam--mahasiswa dari Afrika--tengah asyiknya membacakan ayat-ayat Al-Qur'an. Aku sendiri gak tahu persis surat apa yang dia baca, maklum hapalan Al-Qur'anku masih sedikit dan jauh tertinggal dari sang imam yang sudah mengkhatamkan hapalan Al-Qur'an. Dan memang setiap mahasiswa yang menjadi imam di masjid ini harus sudah khatam hapalan Al-Qur'annya.

Suara sang imam begitu merdunya. Walaupun sempat tersendat-sendat bacaannya karena ada beberapa penggalan ayat yang dia lupa, namun suara merdunya membuatku terhanyut dalam shalat. Tak terasa kemerduan bacaannya menghabiskan waktu yang cukup lama. Aku kurang tahu persis berapa ayat yang dia baca, namun yang kutahu ini adalah kali pertama aku mendengarkan bacaan sang imam shalat fardhu begitu panjangnya.

Di rakaat kedua sang imam hanya membacakan beberapa ayat saja, karena mungkin dia menyadari telah membaca ayat begitu panjangnya di rakaat pertama.

Di tengah-tengah shalat suara hp salah seorang makmum berdering. Sangat disayangkan suara hp itu tidak dimatikan seketika itu juga. Padahal beberapa waktu yang lalu aku pernah menyaksikan salah seorang makmum yang langsung angkat suara seusai shalat untuk memperingati makmum lain yang tidak mematikan dering hp ketika shalat.

Shalat Isya pun usai. Kuucapkan salam setelah imam sempurna mengucapkan salam. Tak dinyana salah seorang a'immah calon dai Mesir yang ikut shalat berjama'ah saat itu langsung marah, memperingatkan sang imam yang terlalu panjang membaca ayat Al-Qur'an (baca: tathwil [dalam bahasa Arab]). Kontan saja suasana masjid menjadi gaduh. Maklum di masjid para calon ulama ini, sedikit terjadi kesalahan saja langsung membuat para jam'an riuh dan suasana masjid pun seakan seperti pasar.

Sang imam pun dikerumuni oleh para makmum dan orang Mesir tadi. Aku gak begitu paham apa yang dibincangkan oleh mereka karena saking gaduhnya. Tapi yang bisa kutangkap mereka saling mengeluarkan pendapat tentang tathwil yang dilakukan oleh sang imam tadi.

Suasana gaduh tersebut berlangsung sekitar 15 menit. Kegaduhan tersebut terhenti setelah salah seorang a'immah calon dai Mesir yang lain memberikan ceramahnya tentang tathwil yang dilakukan sang imam. Para jama'ah ada yang mendengarkan ceramahnya itu, ada juga yang masih asyik membincangkan permasalahan tathwil itu, dan ada juga yang ogah-ogah saja langsung meninggalkan masjid. Kejadian itu langsung membuatku penasaran. Apakah sang imam itu benar-benar salah atau sang a'immah yang marah itu yang salah?!

Aku menuju ke kamar mungilku, lalu kubuka kitab "Al-Fiqh 'ala Madzahibil Arba'ah" karangan Abdurrahman al-Jaziri. Aku buka juz 1 halaman 209. Di sana aku menemukan pendapat para imam mazhab tentang permasalahan yang baru saja kudapati di masjid. Pendapat para ulama itu singkatnya sebagai berikut:
1. Mazhab Syafi'i, Hanafi dan Hanbali bersepakat bahwa tathwil disunnahkan jika
orang yang shalat tidak sedang dalam keadaan safar (bepergian) dan munfarid
(tidak berjamaah).
2. Mazhab Maliki berpendapat bahwa sunnah tathwil bagi yang shalat munfarid, baik
itu dalam keadaan safar ataupun bermukim.

Kemudian, bagaimana hukum tathwil yang dilakukan oleh imam pada shalat jamaah? Berikut pendapat para ulama tentang hal itu:
1. Mazhab Maliki berpendapat bahwa disunnahkan tathwil bagi imam dengan 4 syarat:
- Imam tersebut menjadi imam bagi jamaah yang terbatas (artinya semuanya mampu
mengikuti imam jika melakukan tathwil).
- Jamaah meminta tathwil kepada imam.
- Hendaknya imam tahu atau memperkirakan bahwa jamaah bisa kuat mengikuti
tathwil.
- Sang imam tahu atau mengira tidak ada salah seorang jamaah yang udzur (tidak
kuat mengikuti tathwil).
2. Mazhab Syafi'i berpendapat disunnahkan bagi imam tathwil bacaan jika jamaah
ridha kecuali pada shubuh hari Jum'at dimana imam disunnahkan tathwil dengan
membaca surat As-Sajdah dan surat "Hal Ata (Al-Insan)" walaupun jamaah tidak
ridha.
3. Mazhab Hanafi berpendapat disunnahkan bagi imam tathwil bacaan jika hal tersebut
tidak memberatkan bagi jamaah. Apabila memberatkan jamaah maka hukumnya makruh.
4. Mazhab Hanbali berpendapat disunnahkan bagi imam takhfif (bacaan ringan) sesuai
dengan keadaan makmum. Jika makmum mampu dan kuat maka boleh saja tathwil.

Hidup di lingkungan para calon ulama sangat banyak memberikan pelajaran berharga, termasuk pelajaran yang kudapat pada shalat Isya itu. Wallahu a'lam bi ash-shawab.
read more...

Sabtu, 19 Desember 2009

APAKAH BOLEH MEMBACA MUSHAF DALAM SHALAT?!

Artikel ini saya susun merespon pertanyaan dari temen Facebooker saya yang berasal dari Medan. Dia menanyakan perihal shalat sambil pegang Al-Qur'an dan membacanya pada tiap-tiap raka'at.

Bismillâhirrahmânirrahîm. Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw. yang memiliki nilai ibadah. Pahala yang akan didapatkan oleh orang yang membaca Al-Qur’an sangat besar. Semakin banyak ayat yang dibaca maka semakin besar nilai pahalanya. Rasulullah Saw. bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi ra. :

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنَ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا . رواه الترمذى

“Barang siapa membaca satu hurup dari Al-Qur’an, maka baginya kebaikan. Dan setiap kebaikan tersebut nilainya adalah sepuluh.”
Begitu besar nilai pahala membaca Al-Qur’an, maka sayang kalau kita melewatkan waktu tanpa membacanya.

Selanjutnya, shalat merupakan amalan ibadah yang akan menentukan diterima atau tidaknya amalan lain di akhirat kelak. Rasulullah Saw. bersabda:

أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ ، إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ سَائِرُ عَمَلِهِ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ . راوه الطبرانى

“Perkara yang pertama kali dihisab di hari kiamat nanti adalah shalat, jika benar shalatnya (sesuai dengan yang dituntunkan oleh Rasulullah Saw.) maka diterimalah segala amalannya, sebaliknya jika rusak shalatnya maka rusaklah seluruh amalannya.”
Shalat dan membaca Al-Qur’an merupakan amal salih yang benar-benar besar nilai pahalanya. Hal yang lebih utama dari itu semua adalah membaca sekaligus mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an dalam shalat. Tentu hal tersebut tidaklah sulit bagi orang yang sudah menghapal Al-Qur’an di luar kepala. Namun, persoalannya bagi mereka yang belum hapal Al-Qur’an apakah boleh membuka mushaf ketika melaksanakan shalat?

Dalam mengambil istinbâth (kesimpulan) hukum dari persoalan tadi kita perlu merujuk kepada pandangan para ulama yang memang sudah mengkaji dan memberikan fatwa terhadap permasalah tersebut.

Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” mengatakan bahwa boleh saja seorang imam atau orang yang shalat sendirian sekalipun membaca mushaf dalam shalatnya, tak ada perbedaan antara shalat fardhu ataupun shalat sunnah, hafizh Al-Qur’an ataupun bukan hafizh. Pernyataan Ibnu Qudamah tersebut menjadi pandangan dan kesimpulan hukum para ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali.

Landasan kesimpulan hukum di atas adalah hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah, ummul mukminin, sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا كَانَ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذِكْوَانُ وَيَقْرَأُ مِنَ الْمُصْحَفِ . ذكره البخارى فى صحيحه
“Dari Aisyah, ummul mukminin ra. bahwa budaknya, Dzikwan, mengimaminya dan dia (Dzikwan) mengimami sambil membaca mushaf.”

Imam Al-Ghazali dalam “Ihya Ulumuddin” mengatakan bahwa melihat (membaca) mushaf adalah ibadah. Jika kita ambil sebuah kaidah syariah “al-wasâ’il ta’khudzu hukmal masâ’il (perantara atau media menempati posisi hukum perkara yang dimaksud)”, maksud dari memegang mushaf tersebut adalah membaca Al-Qur’an. Maka, jika maksud membaca Al-Qur’an tersebut dicapai dengan cara memegang mushaf maka hukumnya boleh.

Imam Nawawi dalam kitab “Al-Majmu’” mengatakan, “Membaca Al-Qur’an dengan memegang mushaf tidak membatalkan shalat, sama saja antara yang sudah menghafal Al-Qur’an ataupun belum menghafalnya. Bahkan bisa menjadi sebuah kewajiban membuka mushaf jika belum hafal Al-Fatihah. Meskipun dalam membacanya harus membolak-balikkan lembaran-lembaran mushaf, hal tersebut tidak membatalkan shalatnya.

Sementara Abu Daud Azh-Zhahiri mengatakan bahwa memegang mushaf dalam shalat membatalkan shalat itu sendiri. Pendapat tersebut diperkuat oleh sebuah hadis seperti berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ : نَهَانَا أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ عُمَرٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنْ يَؤُمَّ النَّاسَ فِى الْمُصْحَفِ.... أخرجه أبو داود

“Dari Ibnu Abas ra. ia berkata: Umar bin Khathab ra. telah melarang kami untuk mengimami shalat dengan membaca Al-Qur’an dari mushaf....”

Hadis yang dijadikan landasan dalil Abu Daud di atas tidak bisa diterima karena dalam sanad hadis tersebut terdapat Ibnu Said an-Nisaburi, yang mana dia termasuk pendusta. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya “At-Tarikh Al-Kabir”.

Kemudian timbul syubhat terhadap permasalah ini, bahwa memegang mushaf, membacanya, dan membuka lembarannya termasuk perbuatan yang berlebihan frekuensinya. Namun syubhat tersebut dibantah:
Pertama, memegang mushaf. Untuk membantahnya Rasulullah saja pernah shalat sambil memegang/menggendong Umamah bint Abil ‘Ash.
Kedua, membuka lembaran mushaf. Untuk meluruskannya dalam beberapa riwayat diperbolehkan seseorang melakukan perbuatan ringan (amal yasir) dalam shalatnya. Sementara itu membuka lembaran-lembaran mushaf tersebut termasuk dalam kategori amal yasir tersebut.

Dari pemaparan pendapat para ulama di atas, maka bisa kita simpulkan bahwa membaca mushaf ketika melaksanakan shalat adalah hukumnya boleh, sesuai dengan kekuatan landasan hukum para ulama yang membolehkannya dan kelemahan hukum para ulama yang menyatakan hal tersebut membatalkan shalat. Wallâhu a’lam bi ash shawâb.
read more...

Jumat, 18 Desember 2009

PERNAK-PERNIK IDUL FITRI DI PAKISTAN

Sebagai ritual Islam tahunan, Idul Fitri memberikan kesan tersendiri bagi komunitas muslim di berbagai belahan dunia. Kesan tersebut muncul beriringan dengan implentasi bentuk perayaan hari raya tersebut. Tentunya bentuk perayaan Idul Fitri sangat varian, sesuai dengan kultur dan peradaban masing-masing. Perayaan di Indonesia tentu akan berbeda dengan India, Arab Saudi, dan negara-negara lainnya, meskipun di sisi lain ada kesamaan antara satu dengan lainnya. Hal tersebut menambah kekayaan khazanah Islam di bumi persada ini.

Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar ketiga setelah Indonesia dan India, Pakistan dengan khazanah Islamnya menjadi salah satu titik wilayah perkembangan Islam yang pesat. Salah satu khazanah yang dimiliki Pakistan adalah budaya menyambut dan merayakan Idul Fitri. Seperti apakah perayaan Idul Fitri di negeri Abu A'la al-Maududi ini?

Antusiasme masyarakat dan pemerintah Pakistan terhadap hari raya Idul Fitri sangat besar sekali. Hal tersebut tercermin pada pemberlakuan hari libur pra dan pasca-Idul Fitri. Di Pakistan libur nasional Idul Fitri diberlakukan sejak tanggal 27 Ramadan – 3 Syawal.

Perayaan Idul Fitri di Pakistan mulai nampak pada malam 1 Syawal (baca: malam takbiran). Dalam bahasa Urdu malam hari raya tersebut dinamakan 'Chand Raat' (moon night). Umat Islam Pakistan pada malam tersebut berbondong-bondong memadati pasar-pasar; berbelanja berbagai macam kebutuhan untuk hari H dan dua hari setelahnya. Salah satu pasar yang menjadi tempat perbelanjaan adalah pasar Jinnah, pasar terbesar di Islamabad. Selain tradisi berbelanja, kaum hawa memiliki tradisi tersendiri, yaitu menghiasi tangan mereka dengan'mehndi' sejenis 'hina' (di Mesir), cat khusus untuk menghiasi tangan. Pada malam tersebut kebanyakan muslim tidak tidur sampai pagi menjelang.

Di pagi hari umat Islam beramai-ramai menuju masjid-masjid atau lapangan-lapangan untuk menunaikan shalat Ied berjamaah. Namun, sebelum mereka beranjak dari rumah, kheer dan sawwian menjadi santapan pagi sebelum menunaikan shalat Ied.

Eid Mubarak dan Khair Mubarak bersahutan di hari raya. Semua umat Islam meluapkan kegembiraan di hari fitri ini dengan tahni'ah tersebut. Ada tradisi yang mungkin agak mirip dengan tradisi kita di Tanah Air. Umat Islam saling berkunjung satu sama lain untuk sekadar mengucapkan Eid Mubarak, saling meleburkan segala kesalahan dan menyantap baryani, pakaora atau samosa (makanan khas lebaran yang disantap setelah melakukan shalat Ied). Di samping itu, ziarah kubur pun menjadi tradisi yang lekat pada hari raya.

Bagi anak-anak, hari raya memberikan kebahagiaan tersendiri. Wajar memang, karena pada hari itu ayah, paman, kakek dan uwa akan memberikan eidi (uang THR) kepada mereka.

Suasana hari raya Idul Fitri berlangsung sampai hari ketiga, di mana ada istilah khusus untuk menamakan tiga hari lebaran tersebut, yaitu: Eid, Taro dan Maro.
Demikianlah suasana lebaran di Pakistan yang sarat dengan akulturasi nilai luhur budaya Urdu dan Islam. Wallâhu a'lam bi ash shawâb.

(Artikel ini pernah dimuat di buletin Manggala Jawa Barat, edisi interaktif lebaran, tahun 2009-2010)
read more...

Rabu, 16 Desember 2009

NUANSA LEBARAN DI TURKI; SEMPALAN WARISAN BUDAYA ISLAM DINASTI UTSMANIYAH


Akhirnya, tiba juga kita di gerbang Idul Fitri. Hari raya umat Islam seluruh dunia. Kemeriahan hari raya Idul Fitri menyeruak ke seluruh pelosok negeri. Perasaan gembira dan haru menyelimuti seluruh kaum muslimin.Dan kemenangan pun menjadi hadiah nobel tersendiri bagi umat Muhammad Saw.

Berbagai ekspresi atas kemenangan yang telah dipersembahkan kepada umat terbaik ini, memberikan nilai plus terendiri. Semua kaum muslimin mempunyai tata cara masing-masing dalam mengisi hari raya ini, sesuai dengan sosio kulturalnya masing-masing. Sungguh, sebuah anugrah yang tak ternilai, keberagaman cara dalam sebuah momen emas. Itulah Islam.

Turki merupakan sebuah negeri yang sempat menjadi ibu kota peradaban umat Islam selama rentang beberapa abad. Negeri yang dibelah oleh Selat Bosporus ini menjadi saksi bisu kejayaan Islam, sebelum akhirnya dihancurkan oleh kaum kapitalis. Walaupun dalam tatanan kehidupannya diformat dengan sistem sekuler, ternyata 90% rakyatnya masih memelihara nilai-nilai Islam. Meskipun begitu dalam implikasinya harus manut terhadap kebijakan-kebijakan norma sekuler negeri itu.

Di Turki sendiri, perayaan Idul Fitri masih tetap dipelihara hingga saat ini. Kalau di negeri kita lebih kental dengan istilah lebaran, maka di Turki dikenal dengan Bayram. Sebuah istilah yang mengkhususkan hari raya Idul Fitri. Ucapan selamat hari raya bersahutan diantara mereka pada hari raya ini. Ucapan yang terlontar biasanya berbunyi: "Bayramınız Kutlu Olsun atau Bayramınız Mübarek Olsun, yang artinya semoga hari raya Idul Fitri ini menjadi berkah."

Sambil mengenakan bayramlik -- pakaian khas yang dikenakan ketika Idul Fitri -- mereka meramaikan hari raya ini dengan penuh kegembiraan. Sebenarnya tradisi mereka tidak jauh beda dengan kebiasaan umat Islam Indonesia. Namun dalam implementasinya saja yang berbeda.

Silaturahmi misalnya, selalu menjadi agenda wajib bagi mereka. Aplikasinya kaum muda mengunjungi kaum tua, sebagai rasa penghormatan. Mereka saling berma'afan dan meleburkan semua kesalahan dan dosa diantara mereka.

Sungkeman yang menjadi tradisi kita, ternyata di Turki pun ada. Namun tatanan prakteknya berbeda. Kalau kebiasaan di tanah air para anak mencium tangan kanan orang tua sambil menundukkan dan merendahkan badan, tapi di Turki para orang tua mencium tangan kanan mereka untuk selanjutnya dipegangkan di dahi anak mereka sambil memanjatkan do'a buat para anak.

Ziarah kubur, yang sering kita istilahkan dengan nyekar pun menjadi pemandangan tersendiri pada hari raya Idul Fitri di Turki. Malahan, kegiatan nyekar ini lebih semarak. Hal ini ditandai dengan menjamurnya pasar bunga hanya untuk menopang kegiatan nyekar. Dan biasanya pasar bunga ini ramai sampai 3 hari berturut-turut.

Bagaimana dengan anak-anak? Apakah lebaran memberikan kegembiraan tersendiri bagi mereka? Seperti halnya di beberapa negara yang berpenduduk muslim, anak-anak selalu merasa diuntungkan dengan hari raya ini. Anak-anak Turki biasanya mengunjungi rumah para tetangga selepas shalat 'ied. Mereka mengetuk rumah para tetangga sambil menengadahkan tangan mereka, bersiap-siap menerima baklava atau lokum, permen khas Turki.

Meskipun Turki masih dibayangi oleh golongan militer yang suatu saat bisa menekan dan mematikan pergerakan Islam, tapi ternyata nilai Islam masih begitu sangat kentara di negeri ini. Dan begitulah kegembiraan rakyat Turki saat memasuki hari raya Idul Fitri.


(Tulisan ini pernah dimuat di buletin Manggala Jawa Barat, edisi interaktif lebaran Thn 2008-2009)

read more...

Sabtu, 12 Desember 2009

LEARNING SOMETHING NEW EVERYDAY

Manusia diciptakan untuk membaca. Seperti itulah kiranya salah satu tugas dan kewajiban manusia sebagai khalîfah fil ardh. Begitu pentingnya membaca, sehingga Allah pun mentahbiskan kewajiban membaca pada wahyu pertama yang Dia turunkan kepada kekasih-Nya. “Iqra’ bismi rabbika alladzî khalaq”.

Dari filosofi ayat Al-Qur’an tersebut, semestinya kita menyadari betapa pentingnya membaca dalam hidup dan kehidupan ini. Sejatinya self conscience juga ikut mendorong dan menyadarkan diri untuk memandang mahal dan berharganya membaca, demi kesuksesan hidup di dunia dan akhirat.

Para psikolog (tak terkecuali psikolog pendidikan) menuturkan, bahwa setiap manusia yang normal maksimal menggunakan daya kekuatan otaknya hanya 6% saja. Termasuk sang penemu E=mc2, Albert Enstein atau bapak kedokteran dunia yang melahirkan karya monumental "al-qanûn fi at-tibbi, Ibnu Siena, sekalipun. Demikian hebatnya orang-orang tersebut. Mereka bisa memberikan karya terbaik untuk umat manusia hanya dengan menggunakan daya otaknya sebesar itu. Lalu apakah kita hanya akan menggunakan kemampuan otak kita 1% atau 0,…..%? Sungguh merugi jika kita tidak mendayagunakan otak dengan semaksimal mungkin. Oleh karena itu, sebagai salah satu manifestasinya kita mesti mengolah dan mengasah otak kita. Diantara mediasinya adalah dengan membudayakan membaca.

Kenapa harus dengan membaca? Adakah alternatif lain?! Bisakah kita bayangkan berapa banyak kapasitas informasi yang dapat kita save dalam memori otak kita hanya dengan membaca. Sebaliknya, apakah kita akan merasa kaya diri dengan diam saja, tanpa membiasakan membaca. Tentu pembendaharaan informasi kita akan berbanding lurus dengan kuantitas dan kualitas membaca. Bukankah demikian?

Learning, dari segi terminologi merupakan kegiatan untuk memperkaya diri dengan memperbanyak informasi sebanyak mungkin pada memori otak. Dan kegiatan itu, lebih banyak mensentralkan pembacaan terhadap objek ilmu pengetahuan. Hal ini sudah menjadi keabsahan dan kemutlakan yang tidak bisa dipungkiri. Dan learning bukan hanya kewajiban, tapi sudah merupakan kebutuhan primer setiap individu yang memandang penting ilmu pengetahuan.

Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa orang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini adalah seberuntung-beruntungnya manusia. Bisa kita tarik benang merah antara hadis tersebut dengan learning. Bahwa kegiatan belajar (dengan membaca, atau metode lainnya) berbanding lurus dengan kemajuan yang didapat (dalam hadis diungkapkan dengan kata "lebih baik"). Semakin kita intens menjadi manusia pembelajar dalam setiap harinya, maka predikat "lebih baik" dalam hadis tersebut secara betahap akan bisa diraih.

At least, menjadi manusia pembelajar adalah sebuah kebutuhan primer setiap manusia.

read more...